
Written By Ana Sue
Entah berapa puluhan lembar tulisan yang telah diketiknya di layar laptop kesayangannya. Berkali-kali ia menggerutu, menggumam seorang diri. Kamar kecil, sempit, dan sesak yang hanya berisi sebuah tempat tidur berukuran single size, kusam yang mendominasi putih seluruh ruangan—dengan cahaya remang dari lampu yang sudah hampir mati—menambah suram keadaan kamar itu. Sebentar-sebentar ia tertawa, terkikik, entah apa yang ditertawakannya. Kucing jantan berbulu abu-abu—bertubuh ringkih, seperti mau mati—menghampirinya, naik ke atas pangkuannya, mengendus-endus pakaiannya, lalu kedua telapak tangan kucing ringkih memijat-mijat paha gadis itu.
Ruang kecil sebagai saksi bisu akan ketekunan dirinya menarikan jari-jemari di atas keyboard laptop, menumpahkan setiap paragraf dengan hamparan diksi yang selalu menjadi pujaan semua orang. Ia bangga, ia bahagia, ia adalah seorang pelakon sastra sejati—mengabdikan diri demi untaian kata-kata yang selalu menjadi pujaan setiap penikmat imajinasi.
Sebentar lagi, ya, sebentar lagi … sebuah maha karya akan tercipta. Sesaat lagi …
***
Gadis itu—Ariena, ia sedang duduk di sebuah bangku kayu, sambil memegang buku. Sedari tadi, ia hanya membolak-balikkan halaman, entah apa yang dicarinya di setiap lembar buku tersebut. Belum lama, beberapa orang melintas melewatinya, menatapnya, kemudian tertawa sambil menggelengkan kepala.
Seorang wanita muda berparas cantik, menghampiri Ariena. Wanita itu tak mengatakan apapun, ia hanya bergeming, melihat tingkah Ariena.
“Lihat, karyaku sudah dimuat,” ujar Ariena. Senang.
“Hmmm …, ya. Kau memang pandai. Kapan karyamu itu dimuat?” balas wanita muda itu seraya tersenyum. Ada rasa geli menghiasi wajah wanita muda itu, melihat mimik wajah Ariena.
“Belum lama. Baru kemarin. Kautahu, aku sudah banyak membaca karya-karya penulis lain. Huh…, mereka hanya penulis kacangan. Mereka benar-benar tak paham bagaimana membuat alur yang menjebak pembaca, memainkan diksi dengan sempurna. Belum lagi …, terasa hambar.”
“Oh…, lalu yang bagus seperti apa?”
“Seperti aku! Lihat! Kaulihat? Buku ini adalah sebuah karya nyata! Kurasa kau tak akan paham. Kau Cuma—“
“Ya, aku memang tak paham, yang aku paham…, kau sebaiknya—“
“Hey, biarkan aku menyelesaikan membaca. Setelah itu aku akan menulis kembali, dan menciptakan sesuatu yang orang-orang tolol itu tak bisa membuatnya!”
“Baiklah.” Wanita muda itu mengalah, ia meninggalkan Ariena sendirian.
***
Sudah sebulan lamanya semenjak ia mengirimkan karyanya yang ke sekian kali, namun masih juga belum ada jawaban. Kedua orangtuanya hanya bisa mengelus dada, memikirkann perilaku gadis semata wayang mereka.
Berkali-kali ia mengecek e-mail, menatap layar handphone, menunggu sms—yang memberi konfirmasi pemuatan karyanya—tetapi tak kunjung datang. Ia yakin, redaksi-redaksi serta penerbit-penerbit itu hanya orang-orang bodoh yang tak memahami sebuah karya. Bukankah, telah banyak pujian yang ia terima? Tak da sedikit pun kritikan atas tulisan yang dibuatnya? Meskipun ada, mereka berarti bodoh dan tak mampu mencerna setiap permainan kata yang ditulisnya. Ya, mereka bodoh! Sangat bodoh!
Seperti malam itu, ia lagi-lagi menarikan jari-jemarinya dengan cepat—menekan setiap tombol yang berada di laptop. Menuangkan ide dan gagasan yang ia dapat. Kali ini, kedua orangtuanya tak ada di rumah. Ia tak peduli jika mereka—kedua orangtuanya pergi tanpa meninggalkan pesan. Ariena ingin meneror para penikmat tulisannya dengan sebuah cerita. Ia ingin membuat mereka kagum, bahkan lebih kagum dari sebelumnya.
Berkali-kali ia menghapus, kemudian kembali mengetiknya, tetapi tetap saja ada yang terasa kurang. Baru kali ini ia merasa tak mampu menguraikan kata per kata untuk menjadi sebuah cerita. Ia bangkit berdiri dari bangku. Ia berjalan mundur, maju, mundur, maju, seperti orang linglung. Sebentar-sebentar ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, berharap ada yang melintas di kepala, untuk dituliskan. Ah, ia mulai merasa kesal, karena meski ia memaksa untuk berpikir, tetap saja tak ada yang bisa dituliskannya. Ia mulai cemas, keringat dingin mengucur, kemudian menggigiti ujung-ujung kukunya. Rasa takut mulai menguasai.
“Akh…!” Rupanya …, ujung jari telunjuknya terluka ketika ia menggigit kulit-kulit kering itu. Sedikit rasa perih, dan darah yang keluar membuatnya tersadar. “Ya, aku belum selesai, aku harus bisa menyelesaikan semuanya. Aku harus bisa membuktikan, jika aku adalah yang terbaik. Mereka sudah kubungkam, tak akan lagi bisa merendahkanku.”
Ia mulai melangkah kembali mendekati laptop, sejenak ditatapnya luka yang berada di ujung jari, kemudian ia tersenyum dan mulai menulis.
‘Mereka jahat …, tak ada yang paham apa yang kurasakan. Hidupku hanya sesaat, aku ter-azab oleh dusta, kelam dalam sepi yang menggerogoti jiwa. Biarkan mereka memuaskan dahaga dalam caci terhadapku, aku terima. Aku tetap yang terbaik, mereka hanya manusia-manusia berotak dangkal—tak paham sebuah arti seni yang sesungguhnya.’
Kali ini, jari-jemarinya begitu lancar menulis, tanpa ada sedikit pun hambatan. Bisa jadi, tulisan yang diciptakannya akan menjadi sebuah kenangan yang selalu teringat dalam benak penikmat sastra.
***
Kedua bola mata Ariena membelalak kaget, ia mengempaskan buku yang berada di tangannya. Pandangannya meliar, menatap siapa saja yang memandangnya.
“Ke mana semua tulisanku?!”
Sebuah buku usang, penuh coretan tak berarti, tanpa makna—berada di lantai tanpa daya. Ariena yakin, tadi ia menggengam sebuah buku novel karyanya. Buku itu …, pasti ada yang mengambilnya saat ia sedang melamun tentang keberhasilannya. Ia berpikir jika wanita muda tadi yang mengambil buku miliknya, karena wanita muda yang berbicara dengan dirinya sebelumnya, terlihat begitu antusias dan ingin memiliki buku tersebut.
Ariena merasa gusar, ia mengepalkan kedua tangannya, sambil berjalan tergesa-gesa. Ia tahu, wanita muda itu pasti berada di dalam ruangannya.
***
“Ada yang bisa kubantu, Ariena?”
“Kembalikan novelku! Kau mengambilnya!”
“Hmmm, apa kau yakin jika aku yang mengambilnya? Duduklah dulu, tenangkan dirimu, Ariena. Aku akan—“
Ariena menerjang tubuh wanita itu yang sedang duduk di atas kursi empuk, kemudian mencengkram kerah pakaian wanita tersebut. Namun, tak ada tanda-tanda ketakutan sedikit pun terlihat dari wanita itu.
“Kau ingin mengambil novelku, kau iri jika aku bisa menulis dengan indah. Kau sama saja dengan yang lain!”
Ariena masih mencengkram kerah baju wanita itu, kemudian ia melihat sebuah cutter berada di atas meja kerja wanita itu. Ariena meraih dengan tangan satunya, mengeluarkan mata cutter yang kemudian diarahkan pada leher wanita tersebut. Kedua bola matanya berapi-api memancarkan amarah—namun ditanggapi dengan dingin oleh wanita itu.
“Kasihan…, tak ada yang mengambil buku tulis penuh coretan anak usia 5 tahun. Bahkan, aku sendiri tak tertarik. Yang membuatku tertarik, hanyalah kasusmu.”
“Kasus? Kau itu iri, sama seperti mereka. Kau ingin membuatku berhenti menulis, untuk menciptakan sebuah karya yang besar. Kau tak paham sebuah karya sastra. Kau …, sama saja seperti mereka yang menjegal keinginanku. Mereka menatapku iba, seolah-olah aku hanya menuliskan omong kosong. Aku muak!”
“Kami sudah menyembunyikan ‘alat ketik’ yang kausebut ‘laptop’ agar kau tak perlu lagi lelah memikirkan jalan cerita yang ingin kaubuat. Biarkan kami yang meneruskan jalan ceritamu, dengan cara yang benar. Sekarang, lepaskan cutter itu, dan kembalilah ke bangsalmu. Aku janji, aku akan menyelesaikannya untukmu.”
“Ka-kalian taruh di mana benda kesayanganku? Hanya dengan benda itu seluruh ide di dalam kepala dapat kutuangkan. Kau, mereka, sama saja! Tak ada yang bahagia dengan keberhasilanku!”
“Ariena, kami sudah menaruhnya di tempat yang aman. Lepaskan cutter itu.”
Ariena terdiam, satu tangan yang memegang cutter bergetar, keringat dingin mulai mengalir membasahi kening.Ia heran, bagaimana mungkin wanita itu tahu di mana ia menyimpan benda kesayangannya. Jangan-jangan wanita itu juga telah mengetahui keberadaan kedua orangtuanya yang meninggalkan dirinya, karena tak ingin melihat keberhasilannya. “Orangtuaku, sudah kembali? Kautahu kan, di mana mereka?” tanya Ariena dengan tatapan dingin.
“Ya, mereka sudah ditemukan. Sekarang mereka sudah bisa tenang karena kau sudah bersama kami.”
***
Wordspress. Com, Berita hari. Seorang gadis berusia 24 tahun telah membunuh kedua orangtuanya dengan cara yang tidak lazim. Gadis itu adalah seorang penderita multy identity disorder, yang selalu memiliki fantasi tersendiri dan dapat mengubah kepribadian sesuai dengan yang diinginkan. Sebelumnya ia pernah dirawat selama beberapa bulan dalam observasi sebuah Rumah Sakit X, dan dari hasil yang didapat sebelumnya, ia dinyatakan sembuh. Namun …, semua tidak seperti yang terlihat, ia masih berada di dalam dunianya.
Tubuh membusuk kedua orangtuanya ditemukan berada di dalam ruang bawah tanah, dalam keadaan yang sudah hampir hancur. Ditemukan pula beberapa bangkai kucing yang ikut ‘dikubur’ bersama kedua orangtua malang itu. Beberapa senjata tajam dan sebuah ‘playpad’ pun ikut diamankan oleh pihak kepolisian. Gadis malang itu berteriak-teriak histeris ketika ‘playpad’ miliknya direbut paksa oleh pihak kepolisian ketika turut diambil sebagai barang bukti. Kini gadis itu kembali menempati bangsal yang sama seperti sebelumnya ia dirawat, kali ini pihak rumah sakit menjamin jika ia tak akan dilepaskan jika belum benar-benar membaik.
-Kelar-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar