
Written By Ana Sue
Genre: Horor/Psycho
Bagaimana dapat kau tertidur, saat semua berkata ‘baik-baik saja’ sedangkan kautahu, semua itu hanya sebuah kebohongan?
Tetap kau tak akan bisa tertidur, meski kau mencoba melelapkan kedua matamu, dengan hitungan satu hingga ke seratus. Kenapa? Bahkan aku pun tak tahu jawabannya.
Yang kaulihat, saat kau mencoba memejamkan kedua mata, hanya sebuah lorong panjang yang entah berakhir ke mana, lorong dengan cahaya terang di ujung.
Ke mana perginya cahaya matahari, saat kau merasa sendu merayap—menyesap ke dalam hening deritamu?
Mungkinkah, kebohonganmu beberapa tahun yang lalu membuatmu demikian, atau?
***
Entah sudah berapa lama lelaki itu duduk di sebuah bangku depan restoran fast food. Ia memegang sebuah gelas plastik berisi kopi yang mungkin telah dingin—karena ia memesan sekitar setengah jam yang lalu. Kedua pasang bola mata itu bergerak mengikuti tiap langkah pejalan kaki yang berlalu lalang di depannya, sebentar-sebentar ia melengos, kemudian menarik napas panjang, lalu kembali tertunduk dengan lesu. Sweater kumal berwarna abu-abu tua, seolah tak mampu mengusir rasa dingin yang pelan-pelan semakin menusuk tubuh yang hanya terbalut kulit dan tulang.
Lelaki itu, hanya seorang pengangguran tua dari sebuah rumah susun yang terletak di pemukiman kumuh seberang jalan, yang berada di belakang sebuah hotel bintang lima. Dulu, ia adalah seorang tukang cukur yang bekerja di sebuah barber shop, namun ia terpaksa menghentikan mata pencahariannya karena barber shop itu telah dibeli oleh seorang konglomerat yang hendak membangun minimarket di tempat itu. Sebenarnya, hari itu … ia gagal mendapatkan pekerjaan. Sepanjang hari ia membawa sebuah map lusuh yang ditemukannya di sebuah tempat sampah besar dekat pembuangan para penghuni rumah susun, yang kemudian diisinya dengan berkas-berkas dokumen miliknya. Lelah ia berjalan dengan hanya membawa beberapa sen uang di kantong celana panjang hitam lusuhnya. Ia membawa uang bukan untuk ongkos, melainkan untuk meyakinkan dirinya bahwa ia diterima bekerja dan uang beberapa sen itu bisa berubah menjadi ribuan dollar. Sepatu pantopel usang yang telah berlubang di beberapa sisi, tetap setia menemaninya meniti jalanan gersang Kota New York. Tak dipedulikannya debu yang melekat pada wajah, ketika sebuah mobil sedan mewah melintas dengan kencang, menyebabkan tanah-tanah di tempat perbaikan jalan beterbangan—menyembur ke arah lelaki tua itu.
Ya, itu cerita tadi siang, ketika ia luntang-lantung berharap ada yang mau memperkerjakannya. Sekarang ia sedang termenung, sekali lagi termenung di depan sebuah restoran dengan segenggam gelas kopi dingin yang diminum beberapa teguk. Penat yang dirasa lesap dalam sekejap, ketika ia mengingat bagaimana cucu-cucunya menanti dirinya di rumah, berharap kabar bahagia yang tersampaikan. Ya, ia harus mencari pekerjaan, atau cucu-cucunya yang telah dibuang oleh anak perempuannya akan mati kelaparan. Anak perempuan tak tahu diri, bermain gila di atas ranjang lusuh milik lelaki tua yang notabene adalah ayahnya, kemudian mengusir lelaki tua itu agar tak mengganggu acara maksiatnya, membiarkan lelaki tua itu terpuruk dalam luka—tak dianggap sama sekali. Setelahnya, anak perempuannya pergi bersama pemuda berandal yang lebih muda terpaut 7 tahun darinya, meninggalkan ketiga anak lelakinya, tanpa rasa bersalah.
Lelaki tua itu selalu berdoa dalam duka, agar Tuhan mau mendengar dan mengembalikan anak perempuannya dalam keadaan utuh dan kembali mengurus ketiga anak lelaki malang tak berdosa. Sayang, wahai lelaki tua, tak tahukah kau, jika anak perempuanmu sebenarnya telah mati terbunuh saat ia dan pemuda begundal itu meninggalkanmu dalam keadaan mabuk heroin? Mereka mati dalam sebuah kecelakaan di sebuah tikungan tajam dekat tebing terjal yang berjarak ribuan kilometer dari tempatmu tinggal, dan mayat keduanya belum ditemukan hingga hari ini kau masih menyimpan harap.
Lelaki tua itu kembali meneguk kopi dingin hingga habis. Setelahnya ia bangkit berdiri, setidaknya dengan perginya lelaki tua itu dari depan restoran, tak akan menjadi pandangan menjijikkan bagi pelayan-pelayan yang sedari tadi memandangnya hina. Sebetulnya, segelas kopi dingin yang telah habis pun tak mampu membuatnya kenyang, mengingat sudah 3 hari perutnya belum tersentuh makanan. Ia merelakan jatah miliknya—sisa-sisa makanan yang ia temukan di bak sampah, ia berikan pada ketiga cucunya yang memakannya lahap hingga tandas tak bersisa. Di sudut matanya hanya ada bias bening yang telah lama mengering bagai gurun Sahara, tak mampu lagi mengalir secara sempurna, karena rasa sakit itu terlalu lama membuatnya terluka. Kadang ia bertanya, ‘Kurang apa aku? Kuberi napas kehidupan bagi puteriku, memberinya cinta meski aku dirundung duka, memberinya bahagia, meski bukan emas dan permata yang diimpikan, mengorbankan seluruh harga diri. Tapi … aku masih gagal!’
Lelaki tua berjalan tertatih, meniti jalan sepi di lorong-lorong becek dan bau, membiarkan tikus-tikus got keluar dari persembunyian dan menggodanya sesaat. Perasaannya kali ini benar-benar menghampa. Kosong. Ia menghentikan langkahnya, lalu bersandar di sebuah dinding basah dan lembab, dengan lumut yang menghiasi tiap sisi. Ia tak peduli dengan semua itu, pikirannya masih melayang-layang, memikirkan akan berbuat apa? Mampukah ia mengatasi segala masalahnya, di usia senja? Ia memukul-mukul dadanya sendiri sekuat tenaga dengan kepalan tangan yang mungkin saja tak sekuat dulu sewaktu ia masih muda dan mampu menghajar beberapa pria mabuk yang menggoda isterinya saat mereka berjalan di taman, atau membuat luka-luka pada seorang penjambret yang berusaha menarik tas kerjanya yang berisi gunting, sisir, dan alat-alat cukur—yang dikiranya berisi segepok uang oleh penjambret itu? Ia sadar … seharusnya di usia seperti sekarang, kematianlah yang bercengkrama, tapi … jika ia mati, bagaimana dengan mereka? Lelah rasanya batin memikirkan semua itu.
Tubuhnya meluruh, ia berlutut di atas aspal becek dan penuh air yang berasal dari air got yang meluap karena tak mampu lagi menampung air karena tersumbat oleh sampah.
‘Kesialanmu berasal dari masa lalumu!’
Ia mendengar sebuah suara yang entah dari mana asalnya. Kedua kupingnya ditajamkan, berusaha mencari suara yang tak diketahui siapa pemiliknya.
“Siapa?”
‘Aku adalah kau, sebuah dosa masa lalu yang menjadi bayanganmu.’ Suara itu lagi-lagi terdengar dan kali ini menjawab.
“Dosa? Apakah ada dosa yang kulupakan?”
‘Ya. Kau hanya ingat kesusahanmu saat kau telah jatuh miskin dan menceritakan keadaaanmu saat susah, tapi tak inginkah kau bercerita tentang masa mudamu? Bagaimana perlakuanmu? Saat kau di ambang kejayaan, kau lupa jika Tuhan memberimu kenikmatan. Hey, jangan kau ceritakan pada mereka tentang kesulitanmu selama 15 tahun ini, tapi beritahu mereka bagaimana kau 20 tahun sebelum kau mengalami kepahitan!’
Lelaki tua itu mulai mengeluarkan keringat dingin. Ya, ia telah lupa, jika ia sempat mengalami puncak kejayaan sebelumnya. Tapi, bukankah itu hal yang tak penting? Bukankah mereka pun telah melupakan siapa dirinya 35 tahun lalu sebelum ia mengalami keterpurukan 15 tahun setelahnya? Seluruh harta yang ia dapat disita oleh bank, karena kesalahannya. Ia terlalu bahagia menikmati pundi-pundi uang yang ia dapat dari hasil keringat orang lain. Dulu, ya, dulu sekali … ia adalah seorang akuntan di sebuah bank terkemuka. Ia membiarkan dirinya semakin diperbudak oleh kesenangan, ia membuat beberapa identitas palsu yang sengaja dibuat untuk mendapatkan pinjaman besar dari bank, menyiapkan lokasi survey fiktif beserta antek-antek yang siap bekerja membantunya hanya demi bayaran yang tak seberapa jika hukum menyentuh kebusukan itu, melakukan money laundering, dan beberapa dosa lainnya. Hingga pihak bank akhirnya mengetahui hal tersebut, namun ia tak dipenjarakan tetapi mendapat sanksi seumur hidup yang membuatnya mengalami penolakan di setiap perusahaan yang dilamarnya. Belum lagi, ia lupa memberikan sepersepuluh dari penghasilan miliknya untuk rumah ibadah, karena baginya Tuhan itu pengemis yang menaruh kotak-kotak amal di dalam rumah ibadah. Saat seorang pengemis meminta-minta, ia hanya akan mencibir dan menceramahi, lalu membuang ludah, tanpa mengeluarkan sesen pun.
Ia ingat semua hal itu, nampaknya Tuhan telah menjauhinya kini. Lelaki tua itu menutup kedua telinganya ketika suara-suara yang didengarnya semakin lama bukan hanya suara satu orang, melainkan seperti paduan suara dalam berbagai macam jenis suara. Terkadang jeritan yang bising menusuk gendang telinga, lalu tangisan-tangisan yang tak jelas dari mana datangnya. Suara-sura itu mengisi rongga kepalanya, berputar-putar merusak otaknya yang tak lagi mampu bekerja seperti dahulu. Dirasakan gelap semakin pekat dalam pandangan. Ia melangkah mundur terseok-seok, dengan kedua tangan tetap menutup kedua telinga, namun tawa-tawa liar itu semakin kencang, dan semakin menggerogoti pikirannya. Ia terus melangkah mundur dan terhuyung-huyung. Map lusuh berisi dokumen yang berada di tangan kirinya terlepas. Suara-suara itu semakin menggila di dalam pikirannya, seolah ribuah iblis berteriak-teriak, menjerit-jerit—terasa panas menusuk gendang telinganya yang lemah. Kedua bola matanya berputar dan bergerak ke atas, ia mendelik, hanya putih tersisa. Ia membeku sesaat di tempat, lalu melangkah mundur tanpa mendengarkan suara klakson yang terus menerus ditekan, memberi isyarat agar ia mundur ke tepi.
Lagi…
Suara itu lagi…
Semakin tinggi…
Melengking…
Lenyap…
Mati!
-Kelar-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar