
Genre: Horor/Thriller
Written By Ana Sue
Tentunya, kalian pernah mendengar tentang kisah serupa ini sebelumnya dengan versi berbeda, kisah klasik yang berisikan ribuan bahkan jutaan mimpi bagi anak-anak gadis. Kisah tentang seorang pangeran tampan, yang menikah dengan seorang gadis biasa, atau seorang pahlawan yang menyelamatkan seorang puteri dari ibu suri yang jahat, atau ..., masih banyak lagi. Terlalu melankolis!
Bagaimana, jika mimpi indah itu, menjadi sebuah mimpi buruk? Di balik semua kisah itu, tak seindah yang dibayangkan? Aku bisa membuat mimpi indah menjadi buruk, sangat buruk, bahkan membuat kalian tidak bisa tertidur!
*
Rumah besar dan tua seperti bangunan pada jaman Versailles itu masih seperti beberapa puluh tahun yang lalu, semenjak awal berdiri hingga hari ini, terlihat kokoh. Meski, kini tampak sedikit suram. Ada yang bilang, rumah besar itu berhantu semenjak kematian tuan besar pemilik rumah. Di dalam rumah itu, dulu …, ya … dulu sekali, ada tiga orang anak gadis yang sama cantiknya, dan seorang ibu yang tak kalah cantik, namun kejam. Tunggu, kabarnya … ibu itu hanya kejam pada salah satu anak gadis—darah daging si tuan besar pemilik rumah. Ya, ia adalah ibu tiri dari gadis tak berdaya itu, dan ibu kandung dari dua anak gadis lainnya. Kenapa? Ya, cerita ini sekilas mirip dengan Cinderella, hanya saja …, kisahnya tak sama seperti yang dibayangkan. Lupakan dahulu masalah gadis-gadis beserta ibunya. Kembali ke masalah rumah.
Rumah itu sangat suram, sesuram kisah yang ada di dalamnya. Gerbang besar itu dulunya sangat kekar, sedikit terkelupas di bagian catnya yang berwarna hitam, tembok besar itu terlihat sedikit bolong di sana sini disebabkan beberapa semen yang hancur—memerlihatkan pondasi awal, yang terbuat dari batu bata. Ketika memasuki halaman, akan terlihat sedikit suram. Beberapa ranting kering dan patah, dedaunan, menghampar di segala penjuru. Ilalang liar tumbuh semakin besar di pekarangan, di atas tanah retak yang mulai mengering. Terhenti sesaat di depan sebuah pintu besar terbuat dari kayu oak bercat coklat tua, seharusnya sedikit terang, karena termakan cuaca, menjadi agak pudar. Ketika membuka pintu, akan terdengar bunyi derit yang sedikit ngilu dari engsel pintu yang berkarat—sehingga sedikit susah dibuka, membutuhkan penekanan untuk mendorongnya.
Di bagian dalam rumah, terdapat perabotan-perabotan antik berdebu, sepertinya pemilik rumah tak pernah membersihkannya.
Kenapa? Kalian bertanya, kenapa aku harus menceritakan tentang rumah? Tentu saja, karena semua kisah itu ada di dalam rumah ini, dan … aku?
Bagian dalam rumah sama suramnya dengan bagian luar, banyak perabotan pecah yang berserakan, kaca-kaca lemari buffet yang retak, belum lagi … sebuah lampu kristal gantung yang pecah salah satu bohlamnya. Jika kalian beranjak menuju tangga, maka kalian akan melihat pagar pembatas tangga yang patah menjorok keluar, dan di bagian lantai tepat di bawah pegangan dan tangga terdapat bercak kehitaman, entah bekas cat atau mungkin cairan lain yang mengotorinya. Di lantai dua, terdapat beberapa kamar, dan satu kamar pembantu yang kabarnya diperuntukkan bagi puteri kandung sang pemilik rumah—tuan besar yang telah meninggal. Keadaan di tiap kamar, sama berantakannya dengan kondisi ruang tamu, dapur, dan beberapa ruangan lainnya. Entah, seperti pernah terjadi kejadian pembantaian pada masa sebelumnya.
Aroma kematian, terendus dengan jelas di setiap sisi, sudut, bahkan bagian terkecil dari rumah ini.
Tahukah, kabarnya … tuan besar itu mati karena terbunuh. Ya, ia dibunuh oleh seseorang pada saat ia sedang tertidur lelap di atas ranjang puterinya. Kenapa bisa di atas ranjang? Tuan besar itu gila, ia memang menyayangi puteri kandungnya, karena sangat mirip dengan mendiang istrinya. Foto mendiang istrinya kini terpampang di tembok gudang, yang telah terkunci rapat, semenjak … lupakan saja. Tuan besar itu, ,mencintai puterinya dengan hasrat keintiman seorang pria dan wanita pada umumnya, bukan karena rasa cinta antara anak dan orangtua. Setelah itu, ia menikah dengan seorang janda miskin yang memiliki dua orang puteri cantik, yang juga tak luput menjadi korban keintimannya. Huh! Kenapa harus janda miskin? Karena, tuan besar itu adalah seorang pria yang senang pergi ke bar-bar murah di dekat kota. Kabarnya, istri sebelumnya meninggal karena tekanan batin. Jawabannya sederhana, janda miskin itu adalah penghibur pria-pria kesepian yang kaya, datang bertandang ke bar, dan mereka bertemu di sana—jatuh cinta—lalu menikah.
Setelah kedatangan ketiganya, suasana rumah berubah. Keintiman berubah menjadi renggang, tetapi puteri tuan besar itu justru bahagia. Setidaknya, akan ada calon pemberi keintiman selain dirinya, meski ia tetap akan mendapat giliran, setidaknya bukan tiap malam. Seperti cerita-cerita lainnya, ada yang baik tentu ada yang jahat. Ibu tiri, di mana-mana selalu jahat, begitulah … tak terkecuali istri muda tuan besar itu. Ia kerap menyiksa puteri tuan besar, saat tuan besar—suaminya—berada di luar kota untuk berbisnis, mencari uang. Tingkahnya semakin menjadi, ketika tuan besar meninggal.
Ia—sang ibu tiri, akan menyuruh puteri itu memasak di atas tungku kayu, padahal ada kompor yang bisa dipergunakan. Ia akan menyuruh puteri itu membersihkan seluruh kaca, lantai, tangga kayu, perabotan-perabotan, piring-piring, dan barang-barang lainnya. Saat puteri tuan besar mengepel lantai, ada saja ulah jahat yang dilakukan ibu tirinya. Kedua tangannya akan diinjak menggunakan hak sepatu berujung lancip, sehingga terluka dan berdarah, bahkan mati rasa. Belum lagi jika ia salah bicara, maka ibu tirinya akan membuat sedikit luka, dengan menampar wajah puteri malan itu dengan sebuah piring datar, tentu saja akan ada memar juga menghiasi wajah selain luka.
*
Saat itu seorang pria muda, saudagar kaya dari kota lain datang bermalam karena badai salju membuat dirinya serta beberapa anak buah, dan kereta kudanya tak bisa melaju. Ibu tiri dan kedua anak gadisnya begitu bahagia, memersilakan pria muda dan tampan menginap di rumah mereka. Pria muda itu tak sengaja melihat puteri dari almarhum tuan besar, ia jatuh cinta. Lalu bagaimana dengan sang puteri? Ya, ia juga cinta! Tentu saja seperti dongeng pada umumnya, bertemu, lalu jatuh cinta, bukankah begitu? Seharusnya demikian yang terjadi.
Setelah kejadian itu, pria muda itu tak bisa melepaskan bayangan sang puteri cantik, yang selalu menghantui pikirannya. Ia berniat meminang sang puteri. Pria muda itu kembali datang ke rumah sang puteri, memberitahukan niatnya kepada ibu tiri jahat. Tetapi apa yang diutarakan pria muda itu ditolak. Jika ia ingin menikahi puteri itu, maka ia harus menikahi pula kedua saudari tirinya. Sungguh ironis!
Pria muda itu menyetujui persyaratan yang diberikan, dan kembali ke kotanya lalu mengumumkan tentang pernikahan itu kepada kedua orangtuanya. Pesta pun dipersiapkan.
*
“Kau datang?”
“Ya, aku datang.”
“Bukankah, aku tak diperbolehkan menikah denganmu jika aku tak menikahi kedua saudarimu juga?” tanya pria muda yang bernama Damian.
“Mereka memperbolehkanku. Peri baik telah membuat mereka diam, dan tak lagi bertanya apapun. Ibu tiriku yang jahat juga tiba-tiba menjadi baik. Kita akan menikah?” tanya Esther—nama puteri dari almarhum tuan besar itu.
“Ya, kita akan menikah hari ini. Lihatlah, semua telah dipersiapkan untuk kita. Setelah ini kau dan aku, akan tinggal di sini.”
“Apapun akan kulakukan, asalkan selalu bersamamu.” Esther menggelayut manja di pundak Damian.
Pernikahan pun dilangsungkan dengan meriah. Semua tamu yang hadir begitu bahagia menyaksikan pernikahan kedua anak manusia, mereka tampak serasi. Satunya cantik, lainnya tampan. Bukankah seharusnya memang berakhir bahagia?
*
Esther berlari sekuat tenaga menghindari pukulan ibu tirinya. Semua barang yang berada di dalam ruang tamu ditabrak, dilempar, diempaskannya, demi menghindari kejaran ibu tiri yang semakin menggila—membawa parang di tangan.
Esther berusaha memertahankan diri, ia melempar beberapa vas kecil sehingga mengenai kaca buffet. Ibu tirinya mengejar Esther ke lantai dua sambil berteriak-teriak. Kedua puterinya ikut mengejar Esther. Esther semakin kalap, hanya karena tak diijinkan menikah, ia harus dikejar, diburu dengan parang, seperti layaknya babi hutan yang berlari menyelamatkan diri dari para pemburu gila.
Esther berlari menuju ruang kerja almarhum ayahnya. Ia membuka-buka laci, berharap menemukan sesuatu yang biasa disimpan ayahnya, yaitu sebuah pistol.
“Berhenti, atau aku akan menembak kepalamu!” Esther menemukan pistol kecil milik ayahnya. Ia mengacungkan pistol tepat ke arah kepala ibu tirinya. Esther kesetanan! Ia menembaki apa saja yang ada di dalam ruangan, membuat ibu tiri beserta kedua anak gadisnya mundur. Esther semakin memiliki keberanian karena memiliki senjata di tangannya. “Kalian, kenapa tak pernah menginginkan kebahagiaanku? Ayah, kau, kedua puterimu, semua sama! Dengan senjata yang sama aku akan membunuh kalian seperti Ayah membunuh Ibu, dan menyimpan mayatnya di sebuah tempat, hanya aku yang tahu di mana tempatnya. Kalian akan menyusul setelah ini, dan diam bersama Ibu.”
Mereka ketakutan melihat Esther yang seolah sedang dirasuki iblis. Mereka berlari ke ruang tamu. Esther menembaki salah satu dari tiga lampu kristal, sehingga pecah, dan keadaan di ruang tamu menjadi agar remang.
Dor!
Tiga kali letupan. Hanya tersisa satu peluru. Dua tubuh jatuh tergeletak, hilang nyawa dalam sekejap. Hanya tinggal satu, yaitu puteri bungsu dari ibu tirinya. Ia mengambil parang yang berada di dalam genggaman ibu tirinya, dan kembali mengejar puteri bungsu—adik tirinya.
Esther menemukan adik tirinya, bersembunyi di balik pintu kamar. Ia mengacungkan parang dan pisau, sambil tertawa terbahak-bahak di depan pintu, serupa setan yang sedang berbahagia karena banyak manusia yang terjerumus dalam dosa.
“Tolong, jangan bunuh aku,” pinta adik tirinya dengan suara memelas.
“Tolong jangan bunuh aku? Setelah apa yang kudapatkan, tentu saja aku akan membunuhmu sama seperti ibu dan kakakmu!” sahut Esther dari balik pintu. Esther melangkah masuk, kamar dalam keadaan gelap, karena lampu tak dinyalakan. Adik tirinya melihat bayangan Esther semakin mendekat, lalu ada sedikit celah untuknya kabur karena Esther kini berdiri membelakangi pintu, berdiri dengan gagahnya sambil tertawa.
Adik tirinya berusaha lari dan tak menimbulkan suara, tetapi … sayang, pendengaran Esther lebih tajam dan dengan sekali gerakan ia menarik pelatuk pistol sehinggan sebutir peluru menembus jantung adik tirinya. Adik tirinya terhuyung, kehilangan keseimbangan, lalu menabrak pagar pembatas tangga sehingga patah—membuatnya terjatuh ke lantai dengan kepala retak.
*
Di sinilah aku, kembali ke rumah ini, menceritakannya. Aku kembali, hanya ingin melihat sebuah ruangan yang tak diketahui siapapun. Ruangan itu ada di balik sebuah lemari buku, yang berada di ruang kerja ayahku. Aku menyembunyikan mayat mereka bersanding dengan kerangka ibuku. Mungkin sekarang mereka sudah menjadi kerangka, karena belatung, cacing, juga makhluk-makhluk lainnya telah menggerogoti daging-daging mereka dengan nikmatnya.
Kehidupanku sudah bahagia bersama suami tercinta, tak ada lagi seorang ayah yang begitu keji menggagahi puteri kandungnya, tak ada lagi ibu tiri yang kejam beserta kedua anak gadisnya yang begitu murahan dengan rela memberikan tubuhnya pada ayahku hanya karena ingin merebut perhatiannya dariku. Setidaknya …, cerita Cinderella itu benar, tak selamanya kesedihan itu menetap, karena ada kebahagiaan bagi yang tertindas, meski dengan cara yang lain.
Sisi gelap, selalu ada, bukan?
-Kelar-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar